Pandangan Karl Marx, Nietzsche, Albert Camus dan Asghar Ali Engineer Mengenai Peranan Agama Dalam Kehidupan Sosial

Kamis, 12 Mei 2011

Pendahuluan
Agama mengajarkan manusia mengenai sesuatu yang luar biasa diluar dirinya yang bersumber dari yang luar biasa juga, yang sering disebut dengan tuhan. Dengan kata lain, bahwa agama adalah bentuk penghambaan manusia terhadap tuhannya. Bentuk penghambaan ini lebih banyak terjadi ketika manusia sedang mengalami kesusahan sosial, yaitu saat terjadi kemiskinan, ketika tertindas, ketika terkena bencana, dan ketika kebahagian sulit diperoleh. Kondisi sosial yang sulit mendorong manusia untuk mencari peraduan yang bisa memberikan harapan utopis kepada mereka, peraduan itu adalah dengan penghambaannya kepada tuhan. Dengan penghambaan-penghambaan yang berlarut-larut tanpa disertai usaha dan tindakan untuk manusia, maka hal ini hanya akan menambah kesulitan sosial mereka.
Berdasarkan kondisi masyarakat tersebut, banyak para pemikir barat yang kemudian menafsirkan agama dan tuhan dalam berbagai penafsiran menurut kondisi sosial dan lingkungannya masing-masing. Ada yang mengatakan agama itu tidak lebih daripada konsep moralitas atau akhlak, ada juga yang mengatakan agama itu sesuatu yang menyentuh hal-hal rohaniyah atau spiritual saja, ada pula yang mendefinisikan agama dengan ritual dan upacara penyembahan.
Teologi pembebasan muncul guna menghadapi polemik masyrakat yang terkungkung dalam dogma agama. Ada banyak definisi pembebasan, salah satunya adalah pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru dan menggairahkannya solidaritas antar manusia (Gutierrez), atau lingkaran setan kekerasan yang menantang orang untuk berperan serta dalam kematian Kristus (Galilea), atau praktik-praktik yang menentang usaha pemanusiaan manusia sebagai tindakan pembebasan tuhan (Munoz). Tujuan dari paham ini adalah satu upaya kontekstualisasi dari ajaran dan nilai keagamaan dalam konteks sosial tertentu. Konteks sosial yang terjadi adalah penindasan, pemiskinan, keterbelakangan, dan penafian harkat manusia. Masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.
Penafsiran peranan agama dalam kehidupan sosial dimaknai secara berbeda-beda oleh para filosof, sesuai dengan keadaan riil di zamannya. Berikut adalah penafsiran peranan agama menurut Nietzsche, Karl Marx, Albert Camus, dan Asghar Ali Engineer.

a. Pandangan Nietzsche Tentang Kematian Tuhan
Dalam buku Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche banyak bercerita tentang “Tuhan telah mati”. Konsep ini adalah kritik terhadap tradisi kekristenan di zamannya yang mengacu kepada paradigma kehidupan setelah kematian. Tradisi kekristenan membawa manusia agar percaya kepada nilai-nilai absolut dan dengan percaya terhadap nilai-nilai yang absolut tersebut, maka manusia akan menjadi lemah, tidak kreatif, dan statis. Maka dari itu nilai-nilai absolut harus dihancurkan. Dan karena puncak dari segala ke absolutan itu adalah tuhan, maka menurut Nietzsche, tuhan harus dibunuh.
Nietzsche percaya bahwa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan atau nilai absolut akan membuka jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Tuhan orang Kristen, dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya yang sewenang-wenang, tidak akan lagi menghalanginya, sehingga manusia boleh berhenti mengalihkan mata mereka kepada ranah adikodrati dan mulai mengakui nilai dari dunia ini. Pengakuan bahwa "Tuhan sudah mati" adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, berbeda, dan kreatif. Suatu kebebasan untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk menerima beban masa lampau. Nietzsche menggunakan metafora laut yang terbuka, yang dapat menggairahkan dan menakutkan. Orang-orang yang akhirnya belajar untuk menciptakan kehidupan mereka kembali akan mewakili suatu tahap yang baru dalam keberadaan sang manusia unggul.
Menurut Nietzsche, dengan terbunuhnya tuhan, maka manusia berlomba lomba untuk menjadi manusia yang unggul, yaitu manusia yang agung ketika ia mampu menunjukan semangat hidup dan gairah yang tinggi. Untuk itu, manusia harus bebas dari kekhawatiran akan dosa dan terbebas dari nilai-nilai tradisional yang membelenggu potensi kemanusiaannya. Sehingga, manusia yang bebas ini mampu terus untuk mencipta sesuatu yang baru dan orisinil, walau harus bertentangan dengan dogma-dogma yang berlaku.
Nietzsche mewacanakan bahwasannya nilai-nilai dan pemikiran yang ada harus ditolak, baik itu teori maupun pengetahuan. Jika tidak ditolak maka teori yang muncul menjadi tidak bermakna lagi dan hanya merupakan pembenaran dari teori yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini, Nietzsche lebih menitikberatkan kepada pembebasan akal pikiran manusia agar mampu berpikir sebebas-bebasnya dan berkreasi seluas-luasnya.

b. Pandangan Marx mengenai agama adalah candu bagi masyarakat
Karl Marx yang hidup pada zaman revolusi industri, dimana tenaga buruh beralih ke tenaga mesin. Ini mengakibatkan banyak buruh yang tak punya pekerjaan yang otomatis juga kehilangan penghasilannya, kalaupun ada buruh yang bekerja itu pun jumlahnya terbatas dan gajinya pun sedikit. Kondisi yang demikian membuat manusia putus asa karena tidak mampu lagi mengatasi persoalan kehidupannya secara logis dan realistis. Agama, kemudian muncul, sebagai tempat pelarian manusia dari masalah-masalah yang dihadapinya, sehingga masalah yang dihadapi malah tidak terselesaikan.
Dari kondisi yang demikian ini, Marx menyimpulkan bahwa “religion is the opium of the people”. Agama adalah candu bagi masyarakat dapat diartikan bahwa agama tidak sedikitpun membawa kebaikan dan hanya membawa malapetaka bagi manusia. Marx berkesimpulan bahwa sebelum orang dapat mencapai kebahagiaan yang sebenar-benarnya, maka agama haruslah ditiadakan karena agama menjadi kebahagiaan semu dari orang-orang tertindas. Secara tidak langsung agama telah membiarkan orang untuk tetap pada kondisi materialnya dan menerima secara pasrah apa yang ia terima walaupun ia tengah mengalami penderitaan secara material. Maka dari itu agama harus ditiadakan agar manusia kembali kepada urusan materialnya sehingga kebahagiannya tidak lagi bersifat utopis.
Dalam hal ini Marx mencoba untuk membebaskan manusia dari belenggu kebahagian semu yang dijanjikan oleh agama berupa iming-iming kebahagian surga. Manusia seharusnya berjuang dan berusaha sekuat tenaga ketimbang berlama-lama duduk dan bersujud di gereja. Padahal semua persoalan kehidupan manusia harus bertitik tolak dari manusia dan kembali pada manusia itu sendiri. Menurut marx, agama tidak menjadikan manusia menjadi dirinya sendiri, melainkan menjadi sesuatu yang berada diluar dirinya, sehingga manusia terasing dari dirinya sendiri.

c. Konsep Absurditas Albert Camus
Dalam novel La Peste, Albert Camus banyak menggambarkan mengenai tipe-tipe manusia dalam merespon suatu bencana. La Peste sendiri bercerita mengenai peristiwa luar biasa yang menghantam penduduk suatu kota. Novel ini menyiratkan tentang eksistensi manusia di depan mengahadapi bencana atau kematian. Lebih lanjut, Camus menjabarkan mengenai lima tipe manusia dalam merespon suatu bencana.
Tipe pertama adalah tipe orang yang “merasa terjerat” dalam bencana, karena adanya pemberitaan di media massa secara terus-menerus. Tipe kedua adalah tipe orang yang “menerengkan” secara metafisika religius yang ia peluk agar keyakinan yang ia peluk semakin memberi rasa tenang. Tipe yang ketiga adalah tipe orang yang tidak mau terlibat dan justru pergi mencari ketenangan pribadi sendiri. Tipe yang keempat adalah tipe orang yang merasa senang ketika terjadi bencana dan berharap bencana tidak kunjung selesai.
Tipe kelima adalah tipe orang yang terlibat secara aktif dan konkret menolong korban. Dia hanyalah orang biasa, yang memilih melibatkan dirinya dalam membantu korban bencana tanpa banyak teori dan kepentingan. Hanya dengan mengatas namaka kemanusiaan mereka secara sukarela membantu korban bencana. Tipe kelima ini, menggambarkan permenungan manusia sejati dalam eksistensinya di depan bencana.
Menurut Camus, absurditas mesti dihadapi dengan moral keterlibatan dalam perjuangan bersama. Bahwa hidup tanpa memimpikan tujuan apapun karena “tuhan telah mati”, sehingga manusia mampu mengerahkan segala kemampuannya demi kemanusiaan. Camus, memiliki keyakinan bahwa kita mesti setia dengan pa yang ada disini, yang ada di dunia ini, terutama kepada manusia yang tertimpa musibah.
Absurditas menurut Camus adalah persepsi tajam bahwa sesuatunya sia-sia, absurd sendiri adalah kondisi dimana kita diingatkan pada kebenaran mendasar bahwa manusia adalah orang mati yang tertunda. Camus mengatakan ada dua cara menghayati dan menyikapi hidup. Pertama, tidak perlu berselisih mengenai sebab dan tujuan kita ada. Yang kedua adalah secara mandiri ataupun bersama-sama dalam sebuah komunitas. Manusia mesti menolak takluk terhadap kebatilan, dan greget melawan ini diwujudkan dalam sikap solider dan bertanggung jawab atas kehidupan ringkih yang terutama tampak dalam diri para korban absurditas eksistensi. Dengan berlandaskan pada konsep kemanusiaan maka dalam menangani korban bencana, manusia tidak perlu lagi memikirkan mengenai tujuan dan alasan dia menolong. Segalanya absurd, tanpa alasan dan tanpa tujuan, karena tuhan telah mati, dan sekarang tinggal bagaimana manusia memaknai kehidupannya yang ada sekarang.
d. Proyek Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer
Menurut Engineer, teologi pembebasan hadir untuk mengambil peran dalam membela kelompok yang tertindas. Teologi pembebasan adalah anti kemapanan, baik kemapanan relijius maupun politik. Lebih lanjut, Engineer mengatakan bahwa agama bukan sekedar mencandukan kesadaran masyarakat, agama juga turut memantapkan status quo dan tidak mendukung perubahan.
Proyek teologi pembebasan lebih menitikberatkan pada aspek praksis dari pada teoritis metafisika-teologis yang tidak jelas yang mancakup hal-hal yang abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Praksis yang dimaksud adalah sifat pembebasan mengenai interaksi dialektis antara “apa yang ada” dan “apa yang seharusnya”. Karena pada dasarnya Islam bisa menjadi ancaman bagi status quo atau segala bentuk kemapanan yang mengeksploitasi kaum lemah.
Maka dari itu, agama tidak boleh berhenti pada tataran urusan duniawi dan akhirat, tapi juga harus mampu menjaga relevansinya. Engineer sangat kecewa melihat agama yang melulu hanya berupa ritual yang tidak menyentuh kepentingan kaum tertindas dan para pekerja keras, dan hanya menjadi latihan intelektual dan mistik yang abstrak bagi kalangan klas menengah, oleh sebab itu, agama harus dijauhkan dari ritual dan abstraksi metafisik.
Dalam menghadapi tantangan kemiskinan, Engineer mengatakan bahwa jika agama hendak menciptakan kesehatan sosial, dan menghindari dari sekedar pelipur lara dan tempat berkeluh kesah, agama harus mentransformasikan dirinya menjadi alat yang canggih untuk melakukan perubahan sosial.

Kesimpulan
Dari penjabaran diatas, terdapat perbedaan pandangan mengenai peranan agama dalam kehidupan sosial antara Nietzsche, Marx, Camus, dan Engineer. Mereka menafsirkan pandangan peranan agama berdasarkan lingkungannya masing-masing, sehingga penafsiran mereka pun berbeda-beda. Kepekaan terhadap ketertindasan manusia membuat mereka kritis terhadap agama, yang dipercayai hanya membelenggu proses pemanusiaan manusia.
Nietzsche, mengkritisi mengenai kevakuman manusia dalam berfikir yang disebabkan oleh kebenaran absolut agama. Maka dari itu, janganlah heran jika Nieztsche kemudian menawarkan konsep “tuhan telah mati”. Dengan terbunuhnya tuhan maka, manusia terbebas dari belenggu kebenaran absolut, sehingga manusia bisa berkreasi dan berinovasi dengan sebebas-bebasnnya. Berbeda dengan Nietzsche, Marx lebih menekankan pada perilaku manusia tertindas yang hanya bisa berdoa tanpa didukung dengan perbuatan yang bisa merubah hidupnya. Pengharapan akan kehidupan bahagia setalah mati, membuat kaum tertindas terbius oleh candu yang dinamai agama. Marx ingin membebaskan masyarakatnya dari belenggu agama dan beralih pada tindakan material yang dapat membawa perubahan sosial seseorang.
Albert camus lebih memfokuskan pada aspek kemanusiaan. Tuhan telah mati, dan manusia sejatinya hanyalah menunggu kapan ia mati. Maka dari itu, manusia sebaiknya absurd dalam bertindak. Tak perlu memikirkan alasan dan tujuan dalam menolong sesama manusia, karena itulah makna manusia dalam memaknai sisa hidupnya. Sedangkan Engineer berpendapat bahwa agama harusnya mampu membebaskan manusia dari ketertindasan dan tidak melulu berupa ritual yang tak berefek apapun bagi status quo. Agama harus mampu menjadi alat perubahan sosial.
Bisa disimpulkan bahwa baik Nietzsche, Marx, Camus maupun Engineer berusaha untuk membebaskan manusia dari segala bentuk dogma agama yang menghambat manusia dalam proses pemanusiaannya. Manusia haruslah banyak bertindak untuk merubah nasibnya dan kaumnya, daripada hanya sekedar duduk dan berdoa. Manusia harus dapat memaknai arti kehidupannya di muka bumi ini.
Sedikit banyak peranan agama memang sangat berpengaruh dalam ranah kehidupan sosial, pengaruh tersebut ada yang memaknainya sebagai pengaruh positif dan pengaruh negatif, tergantung dari aspek mana kita melihatnya. Karena sesungguhnya di dunia ini tidak ada fakta, yang ada hanyalah tafsir.

0 komentar: